## Ambisi Luar Angkasa China: Menuju Keunggulan Global dan Tantangan Geopolitik
China tengah memamerkan ambisinya yang besar di dunia antariksa. Sebuah roket milik negara tersebut diprediksi akan menghantam permukaan Bulan pada 4 Maret 2024, menjadi sorotan terbaru dalam perjalanan eksplorasi ruang angkasa Negeri Tirai Bambu yang semakin agresif. Insiden ini muncul beriringan dengan publikasi cetak biru ambisius Beijing mengenai pengembangan satelit, misi eksplorasi ruang angkasa yang lebih dalam, dan peningkatan jumlah astronot di orbit Bumi. Rencana besar ini telah memicu perdebatan global tentang dominasi di luar angkasa dan implikasinya bagi tatanan dunia.
Para ahli meyakini bahwa Beijing memiliki potensi besar untuk mencapai target ambisius yang tercantum dalam rencana lima tahunannya, terlepas dari insiden tabrakan roket yang tidak terduga tersebut. Program luar angkasa China, dengan pendanaan yang masif dan perkembangan teknologi yang pesat, diprediksi akan mampu menyaingi, bahkan melampaui, Rusia dan Amerika Serikat, khususnya dalam hal komersialisasi teknologi antariksa.
“China harus diwaspadai dalam hal peningkatan daya saingnya,” tegas Marco Caceres, analis studi luar angkasa di Teal Group. “AS sempat unggul jauh, namun negara-negara seperti China, dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat, kini mampu mengejar dan bahkan melampaui.” Pernyataan ini menggarisbawahi pergeseran signifikan dalam peta kekuatan antariksa global, di mana China semakin menunjukkan taringnya.
**Dari Masa Lalu Menuju Masa Depan yang Berjaya**
Perjalanan China di dunia antariksa bukanlah hal yang baru. Sejak meluncurkan satelit pertamanya pada tahun 1970 dan mengirim manusia pertama ke luar angkasa pada tahun 2003 (menjadi negara ketiga setelah Rusia dan AS yang mencapai prestasi tersebut), China telah menunjukkan kemajuan yang konsisten dan spektakuler. Pendaratan bersejarah di sisi jauh Bulan pada tahun 2019 menjadi bukti nyata kapabilitas teknologi dan ambisi negaranya. Saat ini, China tengah membangun stasiun luar angkasa permanen, Tiangong, dan berencana untuk memperluasnya di tahun-tahun mendatang.
Pengeluaran China dari Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS), yang merupakan proyek kolaborasi antara AS, Rusia, Eropa, Kanada, dan Jepang, karena alasan keamanan nasional AS, semakin menegaskan persaingan geopolitik di arena luar angkasa.
Cetak biru program luar angkasa China untuk lima tahun ke depan, yang tertuang dalam dokumen “Program Luar Angkasa China: A 2021 Perspective,” mengungkapkan rencana ambisius untuk mengirim manusia dalam misi jangka panjang untuk penelitian ilmiah, eksplorasi Mars, dan penjelajahan sistem Jupiter. Rencana ini juga mencakup pengembangan dan peningkatan kapasitas sistem transportasi luar angkasa, serta integrasi teknologi penginderaan jauh, komunikasi, navigasi, dan penentuan posisi satelit untuk memperkuat infrastruktur antariksa China.
Para analis meyakini bahwa China memiliki kemampuan untuk mewujudkan semua target dalam rencana lima tahunannya, berkat investasi besar yang telah dilakukan selama lebih dari satu dekade. Richard Bitzinger, pengamat pertahanan dari Defense Budget Project, menyebut cetak biru tersebut sebagai “kompilasi” dari apa yang telah mereka kerjakan selama ini. Meskipun ambisius, seperti rencana penambangan asteroid, yang membutuhkan teknologi canggih untuk penjangkaran dan pengeboran, Bitzinger mengakui kelayakan teknisnya.
Banyak target dalam cetak biru tersebut juga ditujukan untuk menunjukkan citra damai dan positif di mata internasional. “Sebagian besar program luar angkasa berawak bersifat simbolik,” kata Bitzinger. “Secara ekonomi, mungkin merugi, tetapi dalam hal menunjukkan kekuatan, program-program ini sangat efektif.” Meskipun demikian, cetak biru tersebut menegaskan bahwa misi luar angkasa China akan tetap “damai,” meskipun ada kekhawatiran dari AS mengenai potensi militerisasi program tersebut.
**Momentum Komersial dan Tantangan Geopolitik**
Kemajuan pesat dalam program luar angkasa China telah memungkinkannya untuk menjadi lebih agresif dalam pemasaran satelit dan layanan peluncuran modern, bahkan melebihi AS, menurut Caceres. Anggaran yang dialokasikan mungkin juga tumbuh lebih cepat daripada NASA. Peralatan dan teknologi ruang angkasa China kini telah merambah berbagai negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Negara-negara seperti Australia dan Jepang telah menggunakan data penginderaan jauh berbasis ruang angkasa China pasca-bencana alam. Kerja sama antara Rusia dan China untuk membangun pangkalan penelitian di Bulan juga semakin mengukuhkan posisi keduanya di dunia antariksa.
Meskipun demikian, ambisi China tidak selalu disambut baik. Beberapa negara tetangga, meskipun dekat secara geografis, masih bergantung pada teknologi luar angkasa AS. Alan Chong dari S. Rajaratnam School of International Studies di Singapura menyoroti kompleksitas hubungan ini, terutama di Asia Tenggara, di mana faktor-faktor politik dan ekonomi turut memainkan peran penting. Pemerintah Myanmar, misalnya, memiliki hubungan yang rumit dengan China karena utang infrastruktur dan proyek-proyek yang dianggap tidak bermanfaat bagi rakyatnya.
“Situasinya masih fluktuatif, dan saya rasa Asia Tenggara belum nyaman berada di orbit pengaruh China,” ujar Chong. “Meskipun kawasan tersebut memang semakin dekat dengan China dalam 15 tahun terakhir, saya rasa AS masih memiliki peluang.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa persaingan geopolitik di luar angkasa tidak hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang pengaruh politik dan ekonomi di tingkat global. Perjuangan untuk meraih dominasi di antariksa menjadi bagian tak terpisahkan dari persaingan kekuatan besar di abad ke-21.