## Insiden Ciracas: Bukti Kebiasaan Lama Militer dan Tantangan Supremasi Sipil di Indonesia
Insiden penyerangan dan perusakan Polsek Ciracas di Jakarta Timur pada Selasa, 11 Desember 2023, menyoroti permasalahan serius terkait peran militer dalam konteks negara demokrasi modern di Indonesia. Kejadian ini, di mana ratusan orang diduga anggota TNI menyerang dan merusak kantor polisi, menunjukkan bahwa budaya “kebiasaan lama” — intervensi militer dalam ranah sipil — belum sepenuhnya ditinggalkan. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Agus Widjojo, menyatakan dengan tegas bahwa insiden ini menjadi bukti nyata ketidakmampuan sebagian anggota TNI untuk sepenuhnya memisahkan diri dari praktik-praktik tersebut.
Peristiwa bermula dari kasus dugaan penganiayaan seorang anggota TNI di kawasan pertokoan Arundia, Cibubur, sehari sebelumnya. Sekitar 200 orang, yang diduga sebagian besar merupakan anggota TNI, kemudian mendatangi Polsek Ciracas untuk menanyakan penanganan kasus tersebut. Meskipun awalnya Dandim dan Danrem berhasil meredakan situasi dan membubarkan massa, sekelompok orang kembali datang dan melakukan aksi perusakan dan penganiayaan terhadap anggota polisi. Tujuh mobil dinas dan gedung Polsek Ciracas mengalami kerusakan, serta empat anggota Polri mengalami luka-luka.
Agus Widjojo menekankan bahwa akar permasalahan ini tidak hanya terletak pada perilaku oknum anggota TNI, tetapi juga pada kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum oleh Polri, serta ketidakmampuan pimpinan TNI dalam mengantisipasi dan mengendalikan anak buahnya. Ia mengingatkan pentingnya antisipasi dini dari para petinggi militer untuk mencegah eskalasi konflik serupa di masa mendatang. Lebih lanjut, Agus Widjojo mendesak Panglima TNI untuk memberikan teguran tegas, bahkan menyeret anggota TNI yang terbukti bersalah ke Pengadilan Militer. “Komandan masing-masing harus menegur kalau salah dan memperbaiki kalau ada tindakan yang kurang tepat,” tegasnya.
Kapendam Jaya, Kristomei Sianturi, mengungkapkan bahwa hingga pagi harinya belum ada laporan anggota Kodam Jaya yang keluar dari kesatuan saat kejadian berlangsung. Pihaknya tengah melakukan penyelidikan untuk mengungkap siapa sebenarnya pelaku perusakan Polsek Ciracas. Meskipun Dandim dan Danrem berhasil membubarkan massa gelombang pertama, tiba-tiba muncul gelombang kedua yang kemudian melakukan aksi perusakan. Kristomei menduga adanya unsur provokasi yang memicu kerusuhan. Ia menegaskan bahwa jika terbukti ada keterlibatan anggota TNI, mereka akan diproses sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Militer, dengan ancaman hukuman terberat berupa pemecatan dari kesatuan.
Sementara itu, Juru Bicara Mabes Polri, Dedi Prasetyo, mengatakan bahwa situasi di Polsek Ciracas telah kembali kondusif dan operasional kembali berjalan normal. Penyelidikan gabungan Polda Metro Jaya dan Polres Ciracas masih terus dilakukan untuk mengungkap pelaku perusakan. Terkait kasus penganiayaan anggota TNI AL di Cibubur, Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut, Muhammad Zaenal, menyatakan bahwa insiden tersebut hanya kesalahpahaman kecil dan telah diselesaikan secara damai antara pelaku dan korban.
Namun, pertanyaan mengenai di mana pelaku perusakan Polsek Ciracas yang diduga anggota TNI harus diadili menjadi sorotan. Deputi Direktur Riset dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar, berpendapat bahwa anggota TNI yang terlibat dalam perusakan dan penganiayaan terhadap anggota Polri, harus diadili melalui peradilan umum karena kasus tersebut tidak terkait dengan tugas kedinasan. Hal ini penting untuk memastikan transparansi dan pengawasan publik atas proses hukum, yang selama ini dianggap kurang terbuka dalam sistem peradilan militer.
Wahyudi mengungkapkan kekhawatirannya bahwa TNI akan kembali menyerahkan anggotanya yang bersalah kepada Pengadilan Militer, seperti pada kasus-kasus sebelumnya. Ia mendesak pemerintah dan DPR untuk segera merevisi Undang-Undang Peradilan Militer guna memutus mata rantai impunitas bagi anggota militer yang melakukan pelanggaran hukum. Pernyataan Panglima TNI sebelumnya yang mendukung peradilan umum bagi anggota militer yang melanggar hukum terhadap sipil, menjadi harapan untuk mewujudkan supremasi sipil yang sebenarnya. Wahyudi juga menyoroti kesan “pengistimewaan” yang masih melekat pada perlakuan terhadap anggota TNI dalam sistem peradilan, serta proses peradilan militer yang tertutup yang kerap dianggap meringankan hukuman.
Insiden Ciracas menjadi pengingat akan pentingnya penegakan supremasi sipil dan reformasi sistem peradilan militer di Indonesia. Kejadian ini bukan hanya tentang menghukum para pelaku, tetapi juga tentang membangun sistem hukum yang adil, transparan, dan akuntabel bagi seluruh warga negara, tanpa pandang bulu. Kepercayaan publik terhadap penegakan hukum merupakan pilar penting dalam menjaga stabilitas dan keamanan nasional.
**Kata Kunci:** Insiden Ciracas, TNI, Polri, Perusakan Polsek, Supremasi Sipil, Peradilan Militer, Hukum di Indonesia, Reformasi TNI, Penegakan Hukum, Kepercayaan Publik.